Sabtu, 24 Maret 2012

Islam sebagai agama rasional

1. ISLAM SEBAGAI AGAMA RASIONAL
“Tsamarotul aqli luzuumul haqqi”; Hasil (mengikuti) akal adalah komitmen pada kebenaran. (Ali bin Abi Thalib as) Islam sebagai agama pamungkas dan syariat terakhir yang diturunkan oleh Allah swt, serta Al-Quran sebagai kitab suci terakhir dituntut mampu dalam menjawab semua tantangan yang ada. Adakah ajaran Islam selaras dengan apa yang diserukan oleh akal budi manusia? Apakah Islam dengan berbagai teks agama yang dimilikinya mampu menjawab semua tantangan rasionalitas pemikiran? Jika jawabannya negatif, niscaya Islam akan kehilangan predikatnya sebagai agama terakhir yang idealnya mampu menjawab tantangan segala zaman. Akan tetapi jika jawabannya positif, maka akan banyak sekali bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut sebagai konsekuensi dari jawaban positif tadi.
Kita di sini akan mencoba menjawab secara ringkas pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar pemikiran Rasionalitas Agama. Sebelum kita masuk pada intinya, terlebih dahulu kita telaah secara singkat beberapa hal di bawah ini yang sekaligus sebagai prolog pembahasan kita kali ini: Pertama, dalam kehidupan kita sehari-hari bisa dipastikan, bahwa apapun yang biasa dicerna oleh pikiran kita lepas dari benar salahnya hal-hal tersebut tidak akan keluar dari tiga kemungkinan berikut ini:
1. Rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita dengan arti umum dan
sesuai dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.
2. Irasional; segala sesuatu yang tidak sesuai dengan realita dan tidak sesuai pula
dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.
3. Supra-rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita akan tetapi penerapan logika manusia dalam menetapkannya masih belum didapat. Dengan kata lain bahwa hal tersebut bukan berarti masuk kategori tidak masuk akal (irrasional) akan tetapi dikarenakan keterbatasan akal maka ia belum mampu –atau bahkan tidak mampu karena hal-hal yang akan kita jelaskan nanti- untuk menjangkaunya secara argumentatif dan tidak menutup kemungkinan suatu saat kelak akal mampu menganalisanya dengan argumen yang logis sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ilmu logika.
Kedua, sudah menjadi kesepakatan semua kelompok kaum muslimin bahwa ajaran syariat Islam bertumpu pada dua pilar:
1. Ushuluddin; dari segi bahasa ushul kata jamak dari asl yang berarti asas, sedang din berarti agama, oleh karenanya ushuluddin berarti asas-asas agama. Ajaran agama-agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) sepakat bahwa ada tiga asas pokok yang dimiliki oleh agama Allah yang mencakup Ketuhanan, Kenabian dan Hari Kebangkitan.
2. Furu’uddin; dari sisi bahasa furu’ kata jamak dari far’ yang berarti cabang, oleh karenanya furu’uddin berarti cabang-cabang agama. Cabang-cabang agama ini mencakup urutan tata cara ibadah yang biasa disebut dengan syariat. Syariat dalam makna ini mencakup ritualitas (ibadat), transaksi (muamalat) dan hukum jinayat. Setelah kita mengetahui sekilas hal-hal diatas marilah kita tengok pendapat kelompok-kelompok Islam dalam menghukumi peranan argumen rasional pada ajaran agama.
Mazhab-mazhab Islam dan argumen rasional:
Dalam sejarah perkembangan Islam, kemunculan beberapa mazhab merupakan fonomena tersendiri yang tidak bisa dipungkiri. Perbedaan-perbedaan pendapat baik yang berkaitan dengan furu’uddin maupun furu’uddin adalah salah satu penyebab utama munculnya mazhab-mazhab tersebut. Bukan hanya dari sisi muatan ajaran saja mereka berbeda akan tetapi dari sisi metode penetapan kebenaran (berargumen) ajaranpun terjadi perbedaan pendapat. Salah satu sarana dalam menetapkan kebenaran ajaran agama yang menjadi pemicu perbedaan pendapat antar mazhab-mazhab Islam adalah tentang peranan argumen rasional dalam menetapkan kebenaran ajaran agama. Disini kita akan sebutkan tiga pendapat dari kelompok-kelompok Islam perihal argumentasi rasional:
1- Mazhab Zahiri (kontekstualisme): mereka hanya mengambil tekstual (zahir) suatu teks agama tanpa memperdulikan makna yang ingin disampaikan oleh pembicara [2](mutakallim) dibalik itu. Mereka menolak dengan tegas segala macam ta’wil ataupun argumentasi akal. Merekapun berusaha untuk menjaga dimunculkannya permasalahan dan pemikiran baru yang masuk dalam ajaran agama, oleh karenanya mereka menolak berbagai pertanyaan yang menimbulkan munculnya permasalahan baru. Anas bin Malik adalah contoh dari tokoh pemikiran diatas dimana ia pernah ditanya tentang ayat:“Allah bersemayam disinggasana (arsy)” (Qs Thaha:5) maka Anas menjawab: “makna istiwa’ (bersemayam) sudah bisa dipahami, bentuk (kualitas) istiwa’ tidak dapat diketahui, dan mengimani hal tersebut adalah suatu kewajiban, sedang bertanya tentang hal tersebut merupakan bid’ah”.
2- Mazhab Aqli (rasionalisme): mereka meyakini bahwa segala macam ajaran agama bisa dideteksi melalui rasio. Mereka meyakini bahwa wajib dan haram dalam ajaran agama bisa diketahui oleh rasio manusia dimana itu semua bertumpu pada landasan kaidah “wujub syukril-mun’im” (kewajiban berterima kasih pada pemberi nikmat) sedang kaidah itu bertumpu pada rasionalitas baik-buruk.
3- Mazhab Insijam (komplementerisme): mereka meyakini adanya relasi antara rasio dengan syariat (agama). Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu dan syariat –dengan arti umum- merupakan sumber pengetahuan manusia, maka rasio dan akalpun dihukumi seperti itu pula. Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu (agama) merekomendasikan banyak hal yang bersifat obyektif maka begitu pula akal (rasio).
Dikarenakan disini kita bukan dalam rangka menjustifikasi manakah dari ketiga kelompok diatas yang sesuai dengan ajaran Islam maka disela-sela pembahasan akan kita singgung sedikit tentang argumen kelompok yang mengatakan adanya relasi antara akal dan teks agama yang sesuai dengan topik kita.
Beberapa kesalahan:
Ada beberapa kesalahan fatal yang sering disalah pahami oleh sebagian kaum muslimin tentang peranan argumentasi rasio (baca:akal) dalam penetapan akan kebenaran hal-hal yang berkaitan dengan agama. Mereka beranggapan bahwa hanya melalui perantara al-Qur’an dan Hadis saja kebenaran ajaran agama Islam bisa ditetapkan oleh karenanya akal sama sekali tidak dapat dijadikan sumber hukum kebenaran satu ajaranpun. Mereka beranggapan bahwa hanya al-Qur’an satu-satunya kebenaran mutlak yang harus diterima tanpa riserve dalam arti kita tidak boleh mempertanyakan segala apa yang dimuat oleh al-Qur’an. Dengan mempertanyakan apapun yang tertera dalam al-Qur’an berarti kita –tanpa disadari- akan mempermasalahkan pula segala hal yang berkaitan dengan katauhidan, wahyu, keberadaan hari akhir ataupun risalah Ilahi secara umum.
Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa akal sama sekali tidak memiliki peran dalam kebenaran ajaran agama Islam. Mereka-mereka yang beranggapan semacam itu berargumen dengan ayat yang berbunyi: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai“ (Qs al-Ambiyaa’:23), sehingga atas dasar ayat inilah kita dilarang untuk bertanya atas segala ketentuan Ilahi, sedang dalam ayat lain Allah berfirman: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah“ (Qs al-An’am:57) yang berarti bahwa segala peraturan dan perintah milik Allah secara mutlak.
Berdasarkan dua ayat diataslah maka mereka berkesimpulan bahwa bertanya –yang merupakan pekerjaan akal- tentang segala hal yang telah menjadi kebijakan Allah mutlak diharamkan, yang hal itu berarti secara mutlak jalan buat argumen akal tertutup dan hanya argumen tekstual agama saja yang dianggap.
Sebelum kita menjawab problem diatas, terlebih dahulu harus kita ketahui bahwa apakah gerangan tujuan yang akan dicapai melalui tanya-jawab berkaitan dengan berbagai hal-hal agama? Harus disadari bahwa relasi antara pertanyaan dan jawaban sebagaimana relasi antara positif dan negatif pada aliran listrik guna memunculkan suatu tenaga. Jika terdapat aliran negatif sedang aliran positif tidak didapat atau tidak adanya keseimbangan antar keduanya maka lampu tidak akan nyala sesuai dengan yang dinginkan. Begitu pula dengan pertanyaan jika jawaban yang ada tidak didapat atau tidak memuaskan maka cahaya (penerangan) pada pikiran masyarakat tidak akan pernah kita dapati.
Dalam ayat al-Qur’an disebutkan:“Semua yang ada dilangit dan dibumi selalu meminta (/bertanya) kepada-Nya, Setiap waktu Dia dalam kesibukan“ (Qs ar-Rahman:29) Ayat ini menunjukkan bahwa kelangsungan pancaran Ilahi (divine emanation) pada sisi penciptaan manusia dan bagian alam materi lainnya tersimpan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Kita ketahui bahwa segala sesuatu selain Allah memerlukan selainnya sedang hanya Dzat Allah saja Yang Maha Kaya, maka segala makhluk ciptaan Allah selalu menanyakan (baca:meminta) segala kebutuhannya sedang Allah selalu menjawab pertanyaan itu dengan pengkabulan. Tentu pertanyan yang bertujuan untuk menguji bukan bermuatan mencari keilmuan oleh karenanya ia dikategorikan ibarat aliran negatif yang tidak memiliki aliran positif, hukum yang sama akan kita katakan pada pertanyaan yang tidak terjawab atau jawabannya tidak memuaskan.
Berbeda halnya dengan pertanyaan yang bertujuan untuk mencari keilmuan –yang didasari atas ketidaktahuan- maka disaat itu dengan merujuk pada ahlinya kita pasti akan mendapat jawaban yang memuaskan dan masuk kategori adanya relasi antara positif dan negatif sehingga menghasilkan kekuatan menerangi pada lampu. Allah berfirman:“maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (ahlu-zikr) jika kamu tidak mengetahui“ (Qs an-Nahl:43)
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tanya-jawab memiliki beberapa bagian:
1- Pertanyaan dengan bentuk permohonan yang ditujukan kepada Allah atau para “manusia Ilahi” dengan izin Allah. Permohonan kepada Allah ini yang juga masuk kategori jenis pertanyaan, bukan hanya tidak dilarang akan tetapi justru ditekankan dalam ajaran agama. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat:“dan memohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya” (Qs an-Nisaa’:32)
2- Pertanyaan untuk meningkatkan keilmuan, dimana al-Qur’anpun dengan jelas sebagaimana yang telah disinggung (dalam ayat diatas an-Nahl:43) bahwa: “maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (ahlu-zikr) jika kamu tidak mengetahui”. ayat ini jelas sekali penekanannya akan perihal tersebut.
3- Pertanyaan yang dilontarkan dalam rangka protes kepada Allah, tentu pertanyaan jenis ini dilarang oleh agama sebagaimana yang tercantum dalam ayat:23 surat al-Anbiyaa’ dimana Allah berfirman: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai “ karena bukan hanya manusia biasa yang akan ditanya oleh Allah diakhirat kelak namun para nabi dan rasulpun akan ditanya oleh Dzat yang Penguasa alam semesta: “Maka sesungguhnya kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)“ (Qs al-A’raaf:6).
Dari sini jelaslah bagi kita manakah pertanyaan yang diperbolehkan oleh agama dan manakah pertanyaan yang dilarang oleh agama. Tentu pelarangan secara mutlak segala jenis pertanyaan berkaitan dengan hal-hal yang tersembunyi dibalik ajaran agama akan mengakibatkan ke-jumud-an dan yang berakhir pada ketidak berkembangnya keilmuan umat akan agamanya sehingga agama hanya sekedar gudang ajaran yang bersifat dogmatis belaka. Jika hal itu terjadi sementara fitrah selalu ada gejolak untuk mempertanyakan sesuatu yang masih belum ia pahami maka agama beserta doktin-doktrinnya akan sekedar menjadi hiasan pada KTP belaka dan menjadi sekedar warisan nenek moyang, dan berakhir telah keluarnya agama dari tujuan aslinya yaitu menghantarkan kepada kemuliaan dunia-akhirat yang itu semua mustahil terwujud tanpa didukung dengan keilmuan. Selain itu peningkatan kualitas ibadah –yang ditekankan oleh Allah- tidak akan bisa terwujud, dikarenakan kualitas ibadah didasari keilmuan akan makna ibadah itu sendiri juga dipengaruhi oleh niat yang baik dimana niat yang baik harus dilandasi pula dengan pengetahuan, oleh karenanya jika pintu tanya-jawab ditutup maka ilmu yang masih belum didapat tidak akan pernah ia dapati sehingga kualitas ibadah yang baikpun tidak akan pernah bisa didapat.
Rasionalitas baik-buruk:
Pembahasan tentang rasionalitas syariat Islam bertumpu pada satu pembahasan prinsip yaitu tentang penerimaan konsep rasionalitas baik-buruk. Sebagaimana penerimaan argumen rasio terjadi perbedaan pendapat antar kelompok kaum muslimin, maka fungsi rasiopun juga tidak luput dari perbedaan pendapat dikalangan mereka karena hal tersebut adalah cabang dari pemikiran tentang penerimaan argumen rasio. Dalam pembahasan ini kita akan singgung sedikit[7] tentang rasionalitas baik-buruk dengan beranjak dari beberapa pertanyaan yang menjadi pacuan dari pembahasan ini:
1- apakah baik-buruk merupakan suatu yang substansial bagi segala sesuatu?
2- apabila telah ditetapkan bahwa baik-buruk merupakan substansial bagi segala sesuatu, maka apakah bisa didapat cara untuk mengetahui dan menentukannya?
3- jika ternyata bisa ditetapkan bahwa baik-buruk mampu ditentukan oleh akal, maka apakah baik- buruk yang dihasilkan oleh akal tadi hanya mengakibatkan ganjaran duniawi saja atau mencakup balasan ukhrawi juga?
Sebelum kita masuk pembahasan ini, perlu dijelaskan tentang baik-buruk yang kita akan bahas dan yang menjadi selisih paham antara beberapa kelompok muslimin. Ada tiga kemungkinan dari makna baik-buruk disini:
1- Baik adalah sesuatu yang diidentikkan dengan segala yang sesuai dengan kehendak manusia, buruk adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Pemandangan indah dikatakan baik karena sesuai dengan kehendak manusia, sebaliknya pemandangan jelek yang dianggap buruk. Dalam makna baik-buruk disini tidak terjadi perbedaan antar kelompok kaum muslimin.
2- Baik adalah sesuatu yang identik dengan kesempurnaan, buruk adalah sesuatu yang identik dengan kekurangan. Kecerdasan disebut baik karena masuk kategori sesuatu yang sempurna sedang kebodohan disebut jelek karena masuk kategori sesuatu yang kurang. Dalam makna baik-buruk seperti inipun tidak ada perbedaan pendapat antar kelompok kaum muslimin.
3- Baik adalah segala perbuatan yang sesuai dengan tinjauan akal, buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan tinjauan akal. Dengan kata lain apakah akal mampu menentukan baik-buruk perbuatan manusia dalam arti layak atau tidaknya perbuatan manusia? Disini terjadi perbedaan pendapat antara beberapa kelompok dalam Islam.
Secara ringkas bisa kita sebutkan tentang sumber perbedaan pendapat antar theolog muslim. Para theolog asya’irah[8]meyakini bahwa akal/rasio manusia tidak memiliki kapasitas dalam menentukannya. Hanya Allah yang memiliki otoritas dalam menentukan hal tersebut. Dengan penjelasan bahwa jika Allah menyuruh manusia untuk melakukan suatu perbuatan maka hal itu menunjukkan bahwa hal tersebut adalah baik, dan sebaliknya jika Allah melarang suatu perbuatan maka berarti hal tersebut adalah buruk. Kelompok ini termasuk kelompok yang mengkategorikan akal sebagai salah satu bagian dari susunan teks aturan agama (sunnah) yang ada karena mereka menganggap bahwa akal berfungsi sebagai penyingkap perintah dan larangan yang dilakukan Allah bukan sebagai penemu. Dikarenakan dengan mengingkari rasionalitas baik-buruk berkonsekwensi menutup jalan untuk menjelaskan hukum, etika dan perundang-undangan, oleh karenanya para Asya’irah tidak menentangnya secara mutlak tapi pada makna pertama dan kedua dari makna baik-buruk –yang telah disebutkan diatas- mereka menerimanya walaupun pada makna ketiga mereka mengingkarinya.
Para pendukung rasionalitas baik-buruk –mayoritas Syi’ah imamiah- meyakini bahwa dengan mengingkari rasionalitas baik-buruk –walaupun secara terbatas- berarti menghilangkan fungsi agama sebagai penjelas hal yang berkenaan dengan keilmuan, pembentukan program kerja, leadership,dsb sehingga agama sebatas sarana untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat normatif saja. Para pendukung pemikiran ini meyakini bahwa Allah selain telah menurunkan penerang yang bisa diindera langsung oleh manusia berupa pengutusan para “manusia Ilahi” dan wahyu (baca:kitab suci), Ia juga menganugerahkan kepada manusia yang fitrahnya masih berfungsi dengan baik sebuah penerang lain yang tersimpan dilubuk manusia yang bernama akal. Jika manusia tidak memanfaatkannya maka ia akan tertutup debu dan yang berakhir bahwa ia tidak akan tersinari dengan cahaya tersebut: “maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya“ (Qs as-Syams: 9-10-11). Akal/rasio argumentatif inilah yang mampu menentukan baik-buruk suatu perbuatan.
Kita perhatikan pada realita yang ada bahwa secara global perbuatan manusia bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1- Perbuatan yang menjadi penyebab utama (prima causa) dari baik-buruk, yang secara substansial ia menjadi penyebab predikat baik-buruk suatu perbuatan, sebagaimana adil merupakan hal baik dan zalim merupakan hal buruk.
2- Perbuatan yang jika disesuaikan situasi dan kondisinya memiliki muatan baik atau buruk sedang akal juga menghukuminya sesuai dengan situasi dan kondisi tersebut dari sisi baik atau buruk pula. Jujur tidak selamanya baik sebagaimana bohong tidak selamanya buruk, semua itu disesuaikan dengan maslahat situasi dan kondisi yang ada. Kita bisa katakan bahwa jujur adalah baik, tapi kebaikan disini bukan dilihat dari sisi bahwa jujur adalah penyebab utama (prima causa) kebaikan tersebut, begitu pula dengan bohong.
3- Perbuatan biasa yang tidak ada hubungan dengan situsi dan kondisi –sebagaimana pada bagian kedua- yang biasa dalam syariat disebut dengan mubah seperti duduk atau berdiri. Hukum hal semacam ini tidak berhubungan dengan situasi dan kondisi –dari sisi perubahannya- kecuali jika ia menjadi obyek sesuatu yang lain. seperti duduk adalah suatu hal yang boleh saja, kecuali jika kita dipaksa untuk duduk dan jika tidak akan dibunuh, maka hal itu telah masuk pembahasan lain. Mayoritas pengikut Syi’ah imamiah meyakini bahwa ketiga bentuk pekerjaan diatas akal/rasio manusia secara independen dapat menentukan hukum sendiri –dari sisi baik-buruk- walau tanpa bantuan wahyu dari Allah. Mereka tidak mengatakan bahwa akal sebagai bagian dari sederetan teks agama (sunnah)[9] –sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas pengikut Asya’irah- tapi akal sejajar dengan teks agama, kalaupun ada teks agama yang sesuai dengan fatwa akal maka hal itu sebagai penguat dan pendukung saja.
Para pengikut Asya’irah dalam mengkritisi pendapat Syi’ah mengatakan bahwa kalaupun rasio manusia dapat melakukan hal-hal yang telah disebutkan diatas tadi, sementara kita tahu bahwa rasio manusia dalam menilai banyak hal terjadi perbedaan, hal ini menjadi bukti bahwa secara substansial rasio manusia tidak bisa menjadi tolok ukur baik-buruk. Dalam menanggapi problem tersebut bisa dikatakan bahwa kita dapati dalam banyak hal yang berkaitan dengan berbagai masalah kontemplatif (nazari) terjadi banyak pertentangan baik itu yang berkaitan dengan ketuhanan, kenabian ataupun hari akhir, apalagi problem ilmiah seperti pembahasan kita kali ini. Hanya problem yang dikembalikan pada necessary preponderances (badihiaat-awwaliyaat) saja yang dijamin kebenarannya. Jadi kalaupun apa yang diungkapkan oleh sebagian kaum Asy’ari tadi benar maka hal itu hanyalah tertuju pada problem-problem necessary preponderances saja sedang yang kita maksudkan disini adalah yang necessary (badihiy), oleh karena itu rasio tidak hanya bisa mendeteksi hal-hal yang berkaitan dengan segala permasalahan yang jelas dari hikmah teoritis saja akan tetapi juga mencakup hikmah praktis.
Kelompok yang meyakini rasionalitas baik-buruk mengatakan bahwa ada beberapa konsekwensi logis yang harus kita terima jika kita menolak pendapat tentang rasionalitas baik-buruk tersebut, antara lain:
1- Penentangan atas naluri kemanusiaan; dengan merujuk kepada naluri kemanusian kita akan dapati bahwa kitapun dapat menghukumi antara baik-buruk atas beberapa perbuatan. Banyak perbuatan seperti kejelekan khianat atau zalim manusia dengan merujuk pada naluri kemanusiaannya mampu menghukumi bahwa hal seperti itu jelek, sebagaimana menghukumi baik atas belaku adil dan berbuat baik. Semua itu bisa dihukumi oleh manusia –baik kaum ateis sekalipun- tanpa bantuan syariat atau teks agama.
2- Pengingkaran atas syariat; jika baik-buruk suatu perbuatan hanya bisa diketahui melalui syariat niscaya kita tidak akan mampu menghukumi baik-buruk segala perbuatan. Dengan kata lain jika manusia tidak bisa menghukumi baik-buruk dengan rasionya maka segala baik-buruk –walau dengan hukum syariat- akan ternafikan. Bagaimana mungkin sewaktu Rasul memberitahukan tentang kejelekan berbohong dan kebaikan berlaku jujur, sedang dari sisi lain –jika rasio kita tidak mengenal baik-buruk- lantas kita memberikan kemungkinan bahwa beliau –nauzubillah min zalik- sewaktu menjelaskan hal tersebutpun ada kemungkinan berbohong pula. Jika itu terjadi –munculnya kemungkinan-kemungkinan kebohongan Rasul- maka kitapun tidak akan bisa menerima baik-buruk hasil dari tuntunan syariat, karena selalu munculnya keraguan pada syariat.
3- Lemah dalam menetapkan masalah kenabian; sewaktu rasio manusia mengetahui bahwa berbohong adalah buruk dan harus dijauhkan dari Dzat Suci Ilahi maka dari situ kitapun akan bisa menghukumi bahwa Allah (swt) mustahil memberikan mukjizat –yang sebagai bukti kenabian- kepada nabi palsu (baca:pembohong). Rasio manusia mampu menghukumi bahwa kesaksian nabi sejati utusan Allah bisa dilacak kebenarannya melalui kemampuan mengeluarkan mukjizat, jika rasio manusia tidak mampu mendeteksi baik-buruk secara rasional niscaya muncullah kemungkinan-kemungkinan seperti pemberian mukjizat oleh Allah kepada pembohong…dst.
Teori rasionalitas baik-buruk adalah basic utama pembahasan tentang rasionalitas syariat. Tanpa menerima teori rasionalitas baik-buruk, maka teori rasionalitas syariat akan sulit untuk dicerna.

Rabu, 23 Februari 2011/16:27.
http://islamsyiah.wordpress.com/2008/04/25/rasionalitas-syariat-islam-1/
http://persatuan-umat.blogspot.com/2010/06/rasionalitas-agama.html
2. ISLAM KAFFAH
"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semuanya kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya dia itu musuh yang nyata bagimu." (Qs. al-Baqarah 2:208)
Ayat diatas merupakan seruan, perintah dan juga peringatan Allah yang ditujukan khusus kepada orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan satu-satunya dan juga mengakui Muhammad selaku nabi-Nya agar masuk kedalam agama Islam secara kaffah atau secara keseluruhan, benar-benar, sungguh-sungguh.
Apa maksudnya ? Pengalaman telah mengajarkan kepada kita, betapa banyaknya manusia-manusia yang mengaku telah beriman kepada Allah, mengaku meyakini apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan dia juga mengaku beragama Islam akan tetapi pada hakekatnya mereka tidaklah Islam.Islam hanya dijadikan topeng, cuma sekedar pajangan didalam KTP yang sewaktu marak aksi demonstrasi dipergunakan sebagai tameng didalam menindas orang-orang yang lemah, melakukan aniaya terhadap golongan minoritas serta tidak jarang dijadikan sarana untuk menipu rakyat banyak.
Allah tidak menghendaki Islam yang demikian. Islam adalah agama kedamaian, agama yang mengajarkan Tauhid secara benar sebagaimana ajaran para Nabi dan Rasul serta agama yang memberikan rahmat kepada seluruh makhluk sebagai satu pegangan bagi manusia didalam menjalankan tugasnya selaku Khalifah dimuka bumi. Dalam surah al-Baqarah 2:208 diatas, Allah memberikan sinyal kepada umat Islam agar mau melakukan intropeksi diri, sudahkah kita benar-benar beriman didalam Islam secara kaffah ?. Allah memerintahkan kepada kita agar melakukan penyerahan diri secara sesungguhnya, lahir dan batin tanpa syarat hanya kepada-Nya tanpa diembel-embeli hal-hal yang bisa menyebabkan ketergelinciran kedalam kemusryikan.
Bagaimanakah jalan untuk mencapai Islam Kaffah itu sesungguhnya ? Al-Qur'an memberikan jawaban kepada kita :
"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling darinya, sedang kamu mendengar perintahNya." (Qs. al-Anfaal 8:20) Jadi Allah telah menyediakan sarana kepada kita untuk mencapai Islam yang kaffah adalah melalui ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya serta tidak berpaling dari garis yang sudah ditetapkan.
Taat kepada Allah dan Rasul ini memiliki aspek yang sangat luas, akan tetapi bila kita mengkaji al-Qur'an secara lebih mendalam lagi, kita akan mendapati satu intisari yang paling penting dari ketaatan terhadap Allah dan para utusan-Nya, yaitu melakukan Tauhid secara benar.
Tauhid adalah pengesaan kepada Allah. Seringkali manusia lalai akan hal ini, mereka lebih banyak berlaku sombong, berpikiran picik laksana Iblis, hanya menuntut haknya namun melupakan kewajibannya. Tidak ubahnya dengan orang kaya yang ingin rumahnya aman akan tetapi tidak pernah mau membayar uang untuk petugas keamanan.
Banyak manusia yang sudah melebihi Iblis. Iblis tidak pernah menyekutukan Allah, dia hanya berlaku sombong dengan ketidak patuhannya untuk menghormati Adam selaku makhluk yang dijadikan dari dzat yang dianggapnya lebih rendah dari dzat yang merupakan sumber penciptaan dirinya.
Manusia, telah berani membuat Tuhan-tuhan lain sebagai tandingan Allah yang mereka sembah dan beberapa diantaranya mereka jadikan sebagai mediator untuk sampai kepada Allah. Ini adalah satu kesyirikan yang besar yang telah dilakukan terhadap Allah. "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah, juga terhadap al-Masih putera Maryam; padahal mereka tidak diperintahkan melainkan agar menyembah Tuhan Yang Satu; yang tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Qs. at-Taubah 9:31)
"Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa'atan, namun mereka berkata: "Mereka itu penolong-penolong kami pada sisi Allah !". Katakanlah:"Apakah kamu mau menjelaskan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan dibumi ?". Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan." (Qs. Yunus 10:18)
Bagaimana orang Islam dapat melakukan satu kesyirikan kepada Allah, yaitu satu perbuatan yang mustahil terjadi sebab dia senantiasa mentauhidkan Allah ?
Sejarah mencatatkan kepada kita, berapa banyak orang-orang Muslim yang melakukan pemujaan dan pengkeramatan terhadap sesuatu hal yang sama sekali tidak ada dasar dan petunjuk yang diberikan oleh Nabi.
Dimulai dari pemberian sesajen kepada lautan, pemandian keris, peramalan nasib, pemakaian jimat, pengagungan kuburan, pengkeramatan terhadap seseorang dan seterusnya dan selanjutnya. Inilah satu bentuk kesyirikan terselubung yang terjadi didalam diri dan tubuh kaum Muslimin kebanyakan. Untuk itu, marilah sama-sama kita memulai hidup Islam yang kaffah sebagaimana yang sudah diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, sekali kita bersyahadat didalam Tauhid, maka apapun yang terjadi sampai maut menjemput akan tetap Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang tiada memiliki anak dan sekutu-sekutu didalam zat maupun sifat-Nya.
Kembali kejalan Allah adalah satu hijrah yang sangat berat, godaan dan gangguan pasti datang menerpa kita dan disanalah kita dipesankan oleh Allah untuk melakukan jihad, melakukan satu perjuangan, melibatkan diri dalam konflik peperangan baik dengan harta maupun dengan jiwa.
Dengan harta mungkin kita harus siap apabila mendadak jatuh miskin atau juga melakukan kedermawanan dengan menyokong seluruh aktifitas kegiatan Muslim demi tegaknya panji-panji Allah; berjihad dengan jiwa artinya kita harus mempersiapkan mental dan phisik dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi akibat ketidak senangan sekelompok orang atau makhluk dengan hijrah yang telah kita lakukan ini.
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan ridho dan di-ridhoi; Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Qs. al-Fajr 89:27-30)
Menjadi Islam Kaffah dengan Muamalah yang Islami (Kafah Dan Kepasrahan)
Allah SWT telah berfirman yang artinya “Hai orang -orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah, kepasrahan dan totalitas“. Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa dalam hal beragama kita tidak boleh setengah-setengah, begitu pula dalam memeluk agama Islam, segala aktivitas kita dalam keseharian harus mengacu kepada nilai-nilai Islam.
Bukankah dalam sholat kita ucapkan “inna sholaatii wanusuki wa mahyaaya wa mamaatti ilillaahi robbil a’aalamin“? Ini adalah mengakuan yang dalam dan tulus dari kita bahwa sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku semata hanya untuk Allah seru sekalian alam. Segala aktivitas ke seharian kita harus diarahkan kepada Allah SWT. Kita diciptakan Allah, kita hidup untuk Allah dan kita kelak kembali kepada Allah SWT.
Salah satu hal yang terpenting dalam kehidupan kita sehari-hari adalah hal-hal yang berkaitan dengan muamalah, kita yakin dan seyakin-yakinnya bahwa prosentase waktu kita ini jauh lebih banyak diorientasikan kepada muamalah dibandingkan dengan ibadah.
Sekarang kita bayangkan berapa lama waktu kita duduk melakukan sholat di masjid ataupun tidak di masjid adakah setiap kita sholat 1 jam lamanya, rasa-rasanya tidak. Mungkin satu hari satu malam 1 jam lamanya kita duduk untuk sholat. Hal ini berbanding terbalik dengan usaha kita untuk mencari rizeki dan meniti karir, sehingga kata orang Jakarta pergi pagi pulang petang dengan penghasilan yang pas-pas-an.
Karena itu penting sekali menjadi perhatian agar muamalat kita harus selaras dengan ajaran Islam, bukankah setiap hari kita berdo’a “robbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanata wafil aakhiratt hasanatan wa qinaa adzaabannaar“, oleh karena itulah, yang terpenting bagi kita bagaimana kita adalah melakukan evaluasi dan instropeksi diri agar apa yang dilakukan berjalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Sumber : Indah Mulya Edisi No. 497 Th. VI - 2 November 2008
http://mimbarjumat.com/archives/236
http://kajianislam.wen.su/kaffah.html

3. KUALITAS KEISLAMAN
Apa itu Islam?
Menurut suatu riwayat, ada sekelompok kaum Yahudi menghadap kepada Rasulullah SAW hendak beriman, dan meminta agar dibiarkan merayakan hari Sabtu, dan mengamalkan Kitab Taurat pada malam hari. Mereka menganggap bahwa hari Sabtu adalah hari yang mulia untuk dirayakan, dan Kitab Taurat adalah kitab yang diturunkan oleh Allah juga. Maka turunlah ayat dari Allah yang menolak permintaan kaum Yahudi tersebut dengan ayat:
3. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِين
4. (البقرة : 208)
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. *(Asbabun Nuzul latar belakang historis turunnya ayat-ayat al Quran, c.v. Diponegoro1975, hal.66)
Islam sendiri secara bahasa berasal dari kata aslama-yuslimu yang berarti menyerahkan. Kata tersebut bentukan dari salima, yang berarti selamat. Lalu lahir pengembangan kata baru seperti istislam (menyerahkan diri), salaam (yang berarti sejahtera), silm (yang berarti damai), dan sullam (yang berarti tangga).
Sedangkan menurut istilah Islam adalah ketundukan kepada kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul, khususnya Muhammad SAW, sebagai hukum atau aturan Allah SWT yang membimbing umat manusia ke jalan yang lurus menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. *(Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi, Nurulhuda Press, 2003 hal. 79)
Rasululah sendiri memaknakan Islam dengan : “Islam adalah bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, dan mendirikan shalat, menunaikan zakzt, puasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu di jalannya.” (dikeluarkan oleh Imam hadits yang lima, kecuali Imam Buhori)
Satu lagi pendapat G. Bernard Shaw dalam The Genuine Islam, (Vol. I No. 81936) tentang Islam. “Islam merupakan satu-satunya agama yang memiliki kapasitas penyesuaian terhadap perubahan fase kehidupan, yang membuatnya menarik untuk segala usia. Bila Islam berhasil menjadi diktator dunia modern, maka Islam akan berhasil menyelesaikan masalah-masalah dunia modern dan dapat memenuhi kebutuhan akan kedamaian dan kebahagiaan.” *(Ibid; hal. 81)
Pada intinya, menurut penulis, Islam adalah sebuah dien. Bahkan dalam firman-Nya disebutkan bahwa al Islam, sekarang, adalah satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah. Sedangkan agama-agama samawi lainnya , yakni Nasrani dan Yahudi telah berubah isinya dan tidak sesuai dengan keasliannya. Islam adalah jalan menuju puncak segala puncak. Islam mengatur hal-hal di segala bidang baik itu hubungan manusia dengan Allah, hubungan antar manusia, dan hubungan manusia dengan lainnya. Ajaran Islam sendiri dalam sejarahnya ,dari Rasullullah sampai kini, tidak dan tidak akan pernah berubah. Islam tidak bertambah dan berkurang ajarannya karena ajaran Islam adalah sesempurna-sempurnanya agama. Hanya saja pengetahuan, pemahaman, dan kecerdasan seseorang tentang Islam mungkin terbatas; sehingga membatasi pula kualitas keimanan keislaman seseorang.
Mengapa kita perlu membangun dan membentuk kualitas keislaman?
Kualitas keislaman seringkali disebut pula dengan kualitas keimanan. Sedangkan keimanan pada individu bisa naik dan nisa pula turun. Sebagai misal, ketika kita sedang berada dalam lingkungan yang baik dan dalam keadaan mood yang baik, mungkin keimanan kita berada dalam tingkat yang tinggi pula. Namun, bila sebaliknya, bila kita sedang dalam mood yang jelek, mungkin tingkat keimanan kita sedang dalam tingkatan rendah. Seperti halnya ibarat seorang pendaki yang berjalan ke puncak sebuah gunung. Dalam menggapai angan itu, dia tentunya tidak selalu memperoleh kemulusan. Namun, kadang ia harus melewati tebing, jurang, sungai, pohon yang tumbang, padang pasir, rawa, padang ilalang, atau apapun yang bisa menghambat perjalanannya. Oleh karenanya, ia seharusnya telah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat baik itu persiapan mental, fisik, peralatan, dan bekal tentunya. Demikian pula Islam, orang beragama memiliki motivasi yang bermacam-macam. Ada yang karena memang keyakinan, karena untuk perlindungan bisnis, karena terpaksa, karena untuk menikah, karena orang tua, dan karena beribu alasan lainnya. Namun pada dasarnya hampir semua pemeluk agama memiliki keyakinan bahwa mereka beragama karena ada keyakinan bahwa setelah mati mereka akan hidup di surga bagi yang di dunianya berbuat baik.
Karena motivasi itulah maka Rasulullah memberikan nasihat pada umatnya untuk selalu menjaga keimanan. Rasullullah mengatakan bahwa orang muslim yang baik adalah orang yang hari esoknya lebih baik dari hari yang kemarin. Dari sini, penulis dapat menyimpulkan bahwa Rasulullah memberi nasihat untuk selalu menjaga iman bahkan meningkatkan keimanan secara terus menerus. Hal itu sesuai dengan ayat di atas tadi ( al Baqarah: 208) bahwa dalam berislam kita harus menyeluruh. Menyeluruh di sini otomatis memiliki korelasi dengan peningkatan keimanan. Logikanya tidak mungkin orang beragama islam langsung mengetahui dan memahami 100% ajarannya. Dia perlu tahap-tahap untuk mengetahui keseluruhannya. Dan dalam proses tersebut, tentunya perlu didukung dengan peningkatan keimanan pula.
Bagaimana membangun dan membentuk kualitas keislaman?
Sekarang marilah kita lihat masa kini dimana kita bisa melihat banyak sekali orang yang pemahamannya tentang Islam kurang. Sehingga otomatis kualitas keislamannya kurang pula. Ada sebagian diantara kita yang melihat kualitas keislaman seseorang melalui tampilan dhohir (luar)nya saja. Kalau orang memakai gamis dan peci atau sorban maka ia dikatakan kyai atau orang yang kualitas Islamnya bagus. Padahal nabi mengatakan bahwa “iman itu di hati” jadi yang mengetahui iman itu hanya dia dan Allah. Namun, rasulullah juga memberi sedikit gambaran. Bahwa orang yang disipilin dalam ibadah dan orang yang memiliki akhlak yang baik maka itu adalah sebagian dari cerminan iman dan Islam yang berkualitas.
Disamping itu masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang menurut penulis adalah penyimpangan yang telah besar. Yaitu, ajaran sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan dunia. Dalam bahasa sederhananya penulis mengatakan bahwa agama itu hanya di tempat ibadah dan hanya urusan individu dengan Tuhannya. Sedangkan dalam pergaulan keseharian mereka meninggalkan ajaran agama itu sendiri. Hal ini menurut penulis disebabkan rendahnya kualitas keislaman dan keimanan inividu itu sendiri.
Lalu bagaimana kita membangun dan membentuk kualitas keislaman kita?
Karena pada dasarnya kekurangan mereka adalah buruknya pondasi iman dan Islam yang mereka miliki, maka hal yang pertama kali harus ditata adalah pondasinya terlebih dahulu. Bangunan yang kuat adalah bangunan yang didirikan di atas pondasi yang kuat pula. Iman adalah pondasinya. Mereka diharapkan tidak hanya mengetahui tentang rukun iman yang 5 saja, tetapi lebih dari itu mereka harus ditanamkan perasaan untuk menjiwai apa sebenarnya yang terkandung dalam rukun iman itu semuanya dan memahami cabang-cabangnya. Sehingga kita mengharapkan dalam hati mereka tercermin karakter yang kuat sesuai dengan Islam. Dalam realitasnya, kita bisa menanamkan tujuan itu dengan tarbiyah seperti halnya yang dilakukan di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia yang melakukan kegiatan mentoring atau assistensi, menggerakkan gerakan dakwah yang kompak, meningkatkan diskusi-diskusi global yang berkorelasi dengan agama.
Faktor kedua adalah tiang dari bangunan harus kuat. Dalam hal ini tiang agama adalah sholat. Sedangkan sholat adalah bagian dari rukun Islam. Maka proses kedua adalah menegakkan tiang-tiang agama atau rukun Islam. Seorang muslim hendaknya tidak hanya menganggap rukun-rukun Islam sebagai rutinitas belaka. Hal ini sangat mungkin terjadi pada diri individu seorang muslim. Kita menganggap bahwa syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji adalah sesuatu yang wajib dalam rutinitas ritual ibadah biasa, sehingga dalam pelaksanaannya bentuk kegiatan ibadah tersebut sangatlah miskin akan nilai spiritual dan makna. Seharusnya kita mulai menyadari hal ini. Kita harus memaknai syahadat adalah sebuah ikrar janji kepada Allah dan Muhammad untuk selalu tunduk dalam aturan Islam. Sholat adalah sarana muhasabah, harapan, dan sarana komunikasi dengan Allah. Dan pada intinya kita harus menanamkan kepada diri kita bahwa ritual ibadah itu bukan sekedar ritual, melainkan lebih dari itu terdapat makna yang besar di balik semua hal tersebut.
Apabila hal-hal yang mendasar di atas sudah tertanam, maka hal ketiga yang harus dibangun adalah membuat atap pelindung untuk menyempurnakan fungsi bangunan itu. Dalam hal ini sangatlah penting kiranya kita menambah makna hidup secara umum dengan memunculkan nilai-nilai Islami dalam pergaulan umum. Secara umum, orang menganggap kualitas seseorang itu dari akhlak, intelektual, dan kebaikannya. Jadi, sesuai dengan prinsip Islam yang rahmatan lil alamin, seorang muslim harus mampu mentransformasikan sunnah Rasul dan ajaran Islam dalam pergaualan umum. Nilai-nilai Islam atau ajaran Islam yang dimaksud di sini antara lain sikap-sikap kedisiplinan dalam segala hal, kesopanan, kerajinan, kesungguhan, dan nilai–nilai Islami lainnya. Dan penulis menganggap bahwa sifat yang paling penting adalah sifat seorang mujahidin dan muhlisin. Mujahidin di sini dirtikan sebagai seorang yang selalu bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam segala aspek kegiatan. Sedangkan muhlisin adalah sifat seseorang yang dalam setiap kegiatan sehari-harinya didasarkan selalu karena Allah. Sehingga dari dua sifat ini saja, seumpanya kita mengambil contoh seorang anggota dewan legislative, kita bisa melihat betapa hebatnya seseorang itu. Bila dua sifat itu diterapkan maka seorang anggota legislatif akan selalu hadir dalam setiap sidang, memperhatikan suara rakyat keseluruhan, membela hak rakyat, menolak nepotisme, tidak korupsi, dan mengurangi tidurnya di malam hari
. Ada juga teladan itu terletak pada ilmuwan-ilmuwan muslim yang berpengaruh dalam pengetahuan modern di dunia. Sebut saja Ibnu Syina, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Bathutah yang tidak hanya seorang ahli ilmu tapi juga paham akan keislaman. *(Dialog Jumat, H. U. Repubika, edisi 3 September 2004) karena ia memiliki jiwa mujahid sebagaimana dicontohkan Rasul SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Bahkan ia justru akan selalu berdoa, sholat, dan puasa untuk mengharapkan petunjuk Allah SWT.
Hal-hal tersebut sebetulnya dapat kita lihat sejarahnya dalam kisah para Nabi, sahabat, dan tabi’inKualitas keislaman seseorang pada dasarnya bervariasi tergantung sejauh mana pemahaman individu itu sendiri memaknai Islam menurut Al quran dan Sunnah Rasul. Akan tetapi, di dalam meningkatkan, membangun, dan membentuk kualitas keislaman di dalam masyarakat perlu kiranya melalui proses yang panjang dan bertahap. Hal tersebut dikarenakan kualitas keislaman secara umum masyarakat masih terbatas. Oleh karena itu, menurut penulis bahwa hal-hal yang dipandang penting untuk membentuk dan membangun kualitas keislaman adalah penanaman karakter pondasi iman yang kuat, pemahaman konsep-konsep rukun Islam dan rukun iman, serta pengenalan nilai-nilai Islam yang diteladankan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat serta orang-orang saleh sesudah mereka. Kualitas keislaman seseorang tidak akan pernah terbangun apabila diterapkan hal-hal yang bersifat semu dan kamuflase atau kebidahan dalam pengusahaannya. Karena pada dasarnya, penyimpangan meski hanya 1 derajat dalam melangkahkan kaki untuk pertama kalinya dalam menuju sebuah tempat adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal, karena garis yang telah melenceng meski satuu derajat tidak akan pernah kembali lurus bahkan justru semakin menjauh. (Fikreatif)
http://esteemje.blogspot.com/2007/12/membangun-dan-membentuk-kualitas.html
4. KEPRIBADIAN ISLAM (Syaksiyah Islamiyah)
Bila kita cermati terdapat dua fenomena yang secsra fisik nampak pada diri manusia. Pertama, adalah fenomena performance (penampilan fisik) manusia, seperti bentuk tubuh, wajah dan pakaian. Kedua adalah fenomena yang berupa perbuatan manusia. Dari dua fenomena tersebut, orang kadang salah menilai tentang kepribadian seseorang. Banyak yang beranggapan bahwa performance adalah bentuk dari kepribadian seseorang, yaitu bagaimana postur tubuhnya, cara berjalan, cara berpakaian, pilihan konsumsi makanan dan minuman, status social dsb. Anggapan ini tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai barat tentang konsep kepribadian.
Lambat laun nilai-nilai tersebut semakin mempengaruhi persepsi kaum muslimin dalam memandang kemuliaan dan kerendahan nilai kepribadian pada diri seseorang maupun masyarakat. Seseorang yang berpakaian ala barat, santun dalam berkata, rapi, disiplin, pemaaf, tepat waktu, dikatakan berkepribadian baik, menarik dan mulia. Meskipun ia biasa mengkonsumsi minuman keras, hidup tanpa ikatan pernikahan, memakan uang riba, dll. Contoh-contoh lain dapat dengan mudah kita temukan di tengah-tengah masyarakat. Persepsi ini diperparah dengan menjamurnya sekolah-sekolah kepribadian yang mengajarkan kepribadian baik dan mulia sesuai nilai baik dan mulia standar barat.
Hakikat Kepribadian Bila kita cermati realita di atas, tentu hal tersebut merupakan persepsi yang keliru. Sebab yang menentukan tinggi rendahnya kepribadian seseorang bukan dari nilai-nilai fisik seseorang (cantik/tidak, kaya/miskin dsb) ataupun dari asal daerah dan sukunya (jawa, batak, sunda dll) Sebagaimana sabda Rasullulah SAW : “Sesungguhnya Allah tidak menilai atas rupamu serta harta kekayaanmu, akan tetapi dia hanya menilai hati dan amal perbuatanmu”) (HR. Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah Kepribadian sebenarnya perwujudan dari pola pikir (yakni bagaimana ia bersikap dan berfikir) dan pola tingkah laku (bagaimana ia bertingkah laku) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pola pikir seseorang ditunjukkan dengan sikap, pandangan atau pemikiran yang ada pada dirinya dalam menyikapi atau menanggapi berbagai pandangan dan pemikiran tertentu. Pola pikir pada diri seseorang tentu sangat ditentukan oleh ‘nilai paling dasar’ atau ideologi yang diyakininya. Dari pola pikir inilah diketahui bagaimana sikap, pandangan atau pemikiran yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan pola tingkah laku, adalah perbuatan-perbuatan nyata yang dilakukan seseorang dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pola tingkah laku pada diri seseorang pun sangat ditentukan oleh ‘nilai paling dasar’ atau ideologi yang diyakininya. Seseorang akan makan dan minum apa saja dalam memenuhi kebutuhan jasmaninya bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal tersebut. Seseorang akan memenuhi naluri seksualnya dengan cara apa saja bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal tersebut. Begitu juga sebaliknya bila ideologi yang diyakininya melarangnya.
Walhasil, pola sikap dan pola tingkah laku inilah yang menentukan corak kepribadian seseorang. Dan karena pola sikap dan pola tingkah laku ini sangat ditentukan oleh nilai dasar/ideology yang diyakininya, maka corak kepribadian seseorang sangat bergantung pada ideology/aqidah yang dianutnya. Ideologi kapitalisme akan membentuk masyarakat berkepribadian kapitalisme-liberal. Ideologi sosialisme akan membentuk kepribadian sosialis/komunis. Sedangkan ideology Islam seharusnya menjadikan kaum muslimin yang memeluk dan meyakininya memiliki kepribadian Islam.
Kepribadian Islam (Syaksiah Islamiyah) Merujuk pada penjelasan di atas, maka pada hakekatnya kepribadian Islam merupakan perwujudan pola pikir islami (Aqliyah Islamiyah) dan pola tingkah laku islami ( Nafsiyah Islamiyah). Aqliyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat pada diri seseorang bila ia memiliki keyakinan yang benar dan kokoh terhadap Aqidah Islamiyah dan ia memiliki ilmu-ilmu keislaman yang cukup untuk bersikap terhadap berbagai ide, pandangan, konsep dan pemikiran yang ada di masyarakat yang rusak, kemudian pandangan dan konsep tersebut distandarisasi dengan ilmu dan nilai-nilai islami. Untuk memperoleh Aqliyah islamiyah yang kuat, hanya bias diraih dengan cara menambah khasanah ilmu-ilmu islam (tsaqofah islamiyah), sebagaimana dorongan islam bagi umatnya untuk terus menerus menuntut ilmu kapanpun dan dimanapun. Allah SWT mengajarkan kepada kita : Katakanlah “Ya Tuhanku tambahkanlah ilmu kepadaku” (QS. Thaha : 114)
Sedangkan Nafsiyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan kuat bila seseorang menjadikan aturan-aturan islam sebagai cara memenuhi kebutuhan biologisnya (makan, minum, berpakaian dll) Nafsiyah islamiyah dapat ditingkatkan dengan selalu melatih diri untuk berbuat taat, terikat dengan aturan islam dalam segala hal dan melaksanakan amalan-amalan ibadah , baik yang wajib maupun yang sunah serta membiasakan diri untuk meninggalkan yang makruh dan subhat apalagi haram. Islampun mengajarkan agar kita senantiasa berahlak mulia, bersikap wara’ dan qanaah agar mampu menghilangkan kecenderungan yang buruk dan bertentangan dengan islam.
Dalam sebuah hadis qudsi Allah SWT berfirman : “ …dan tidaklah bertaqarrub atau beramal seorang hamba-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardu yang aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga aku mencintainya” (HR Bukhari dari Abu Hurairah)
Dengan cara inilah Syakhsiyah Islamiyah seseorang akan semakin meningkat terus, pemikiran islamnya semakin cemerlang, jiwa islamnya semakin mantab dan istiqomah serta menjadi orang yang semakin dekat dengan Allah dan dimuliakan oleh Allah.
http://voiceofmuslimahbekasi.wordpress.com/2009/05/15/kepribadian-islam-syaksiyah-islamiyah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar